Rabu, 12 Oktober 2011

Juli sampai Oktober 2011

Bulan Juli sampai Oktober ini ada banyak hal yang kami sekeluarga pelajari. Kami mulai mencari bentuk home education yang bagaimana yang cocok untuk keluarga kami.

Kami mulai dari yang sederhana, yaitu memilih kebiasaan. Ternyata, banyak kebiasaan yang baik untuk karakter manusia, tidak kami terapkan. Kami bangun pagi lebih sering tidak konsisten, tidak berolahraga, tidak membereskan rumah, intinya tidak memanfaatkan waktu dengan sadar secara baik dan baik secara sadar.

Lalu, kami juga mulai mengeksplorasi kekuatan kebebasan bermain anak-anak, memulai unschooling dengan susah payah, dan masih terus berusaha. Walaupun kemampuan matematika, membaca dan sedikit menulis tidak banyak berbeda dengan teman-teman yang bersekolah formal, ternyata melonggarkan diri untuk mendapat lebih banyak kesempatan berkembang sesuatu yang mudah dimengerti tapi sulit dilaksanakan. 

Orangtua yang memilih homeschooling atau home education untuk anak, ternyata tidak boleh lengah sama sekali. Kelemahan karakter orangtua yang tidak disadari, kemungkinan besar akan diadopsi anak.

Maka, mulailah aku dan Wangsit berbenah, membenahi jadwal hidup kami yang dulunya begitu pasif, tergantung pada rutinitas kantor. Sekarang, kami memiliki kebebasan untuk mengatur diri sendiri, yang bisa menjadi senjata makan tuan apabila digunakan sembarangan.

Kami membatasi begadang, agar bangun pagi teratur. Kami memulai olah raga jalan kaki atau bersepeda yang melibatkan Fidel. Kami meluangkan waktu minimal satu jam sehari untuk memperkaya diri dengan mencari dan mempelajari mengenai home education dan kami belajar menghadapi anak.

Pelan-pelan, kami berusaha semakin mengenal karakter Fidel. Kelemahan apa yang dia miliki dan kembangkan, juga kekuatannya dimana. Kami berusaha untuk tidak membentuknya sesuai kemauan kami, tapi justru mengeluarkan apa yang ada didalam dirinya.

Kami terus berusaha memangkas kebiasaan buruk kami, agar Fidel tidak mengadopsinya. Tiga bulan berjalan, kami masih pelan, masih terus menjajaki, apakah 'landasan' yang kami bangun ini sudah cukup ajek untuk lanjut ke tahap berikutnya.

Berikut adalah sharing foto-foto di bulan Juli-Oktober 2011 berisi kegiatan Fidel. 




Minggu, 10 Juli 2011

Proses Homeschooling Fidel

http://www.economist.com/node/18929180

Diatas adalah link media internasional yang menyorot masalah sontek masal. Semoga, akan ada jalan yang lebih baik, untuk menunjukkan bahwa Indonesia juga memiliki sumber daya manusia yang tidak hanya berorientasi pada hasil semata, apalagi hasil yang tidak orisinal.

Beberapa orang yang saya kenal, mengomentari kasus ini sebagai deadlock, mereka tidak melihat jalan keluar selain ikut arus, apalagi kalau yang menjadi pertaruhan adalah kelangsungan proses sekolah anak mereka. Banyak yang merasa kasihan melihat tekanan yang dihadapi anak-anak diusia muda, tetapi menilai bahwa selembar atau beberapa lembar ijazah adalah suatu penentu masa depan anak-anak tersebut. Apa jadinya kalau anak-anak itu tidak sekolah?

Ada banyak jalan menuju Roma, oleh karena itu ijinkanlah saya share pengalaman homeschool Fidel yang baru sebentar. Kami memutuskan untuk homeschool Fidel di usianya yang keempat, setelah beberapa waktu mencari informasi mengenai apa dan bagaimana proses homeschooling. Pada dasarnya, buat kami, homeschooling adalah metode pendidikan yang berbasis rumah, sehingga pertumbuhan moral dan pengetahuan dan ketrampilan Fidel didapatkan dari rumah. Tanggung jawab tersebut tidak kami serahkan kepada institusi atau lembaga pendidikan, akan tetapi kami pikul sendiri sebagai orangtuanya.

Ada keluarga dan teman dan sahabat yang menanyakan seputar biaya atau seputar keprihatinan atas kebutuhan Fidel bersosialisasi, bahkan ada juga yang menanyakan kualitas pendidikan yang diterima Fidel, semuanya kami share disini, in case masih ada orangtua-orangtua yang merasa butuh informasi dan kekuatan, seperti halnya dulu waktu kami memulai mencari informasi.

Status homeschooling di Indonesia adalah suatu kegiatan legal. UUD 1945 mengaturnya melalui pasal 31 ayat 1 dan ayat 2, bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan" dan "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.". Dilanjutkan dengan Undang undang sistem pendidikan nasional, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27, "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan"

Perkembangan homeschooling di Indonesia mendapat tempat di dunia, dan info terkini akan selalu bisa dicari melalui search engine di internet, akan tetapi buat kami UUD 1945 ps 31 ayat 1 dan 2, serta UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ps 27 adalah yang utama.

Mengenai biaya homeschooling yang sering disangka mahal oleh sebagian besar orang, perlu diluruskan bahwa pendidikan yang berbasis rumah, adalah metode pendidikan yang sangat-sangat custom. Kalau mau mahal sekali bisa, tetapi juga bisa murah sekali dengan memanfaatkan hal-hal yang ada disekitar rumah.

Untuk kurikulum, kami punya acuan silabus dari Cambridge University, detail bisa dilihat di http://www.cie.org.uk/

Mulai dari umur 5 sampai 12 tahun, yang kami tekankan adalah math, english dan science, tetapi melalui kegiatan nyata sehari-hari. Sebagai contoh, kami tidak menyuruh Fidel duduk dimeja untuk belajar menghitung bilangan dari 0-20, tetapi dengan permainan menghitung jendela-jendela yang ada dirumah, yang dilakukan Fidel dengan sangat baik dan tentu saja dengan semangat. Berbeda sekali saat kami belikan software belajar matematika dan kami minta dia mengerjakan soal berhitung dari 0 sampai 20, dimana dia bisa mengerjakan dengan sama baiknya tetapi dengan kurang bersemangat. Terakhir yang penting bagi kami adalah bagaimana setelah menghitung semua jendela yang ada dirumah, dengan semangat Fidel menghitung jumlah pintu dan jumlah kamar yang ada dirumah, yaitu bahwa ilmu berhitung yang dia pelajari juga mampu dia aplikasikan dalam obyek lainnya.

Bukankah hal-hal yang kita pelajari dalam koridor pendidikan, harus mampu kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Contoh ekstrem, banyak orangtua yang bersemangat menyuruh anaknya belajar membaca sejak dini, untuk apa kalau pada akhirnya anak tersebut yang merasa terpaksa akhirnya bisa membaca tetapi tidak suka membaca? Ada berapa banyak diantara kita, para orangtua, yang memiliki ketidaksukaan terhadap aktivitas membaca, padahal bisa membaca, dan pada akhirnya menurunkan ketidaksukaan tersebut pada anaknya?

Kami berharap, hal-hal yang dipelajari Fidel akan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan Fidel akan selalu belajar seumur hidupnya walaupun sudah lepas dari usia wajib sekolah.

Kembali menjawab pertanyaan seputar biaya homeschooling, tentu saja bersifat relatif, dan kembali ke masing-masing keluarga pelaku homeschooling. Buat kami, besarnya biaya yang dikeluarkan tidak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan Fidel sebagai homeschooler.

Menilai kualitas pendidikan Fidel tidak hanya dari sisi akademis saja. Kami menilai sangat tinggi atas perkembangan karakter dan moral dan nilai-nilai yang dianut Fidel.

Di usianya yang kelima dan akan terus berlangsung sampai usianya yang ketujuh, kami belum menitikberatkan pendidikan pada hal-hal akademis yaitu pada kemampuan membaca, kemampuan berhitung, apalagi kemampuan menulis.

Yang kami nilai tinggi adalah kemampuan Fidel mengekspresikan diri sepenuhnya, kemampuan Fidel untuk menumbuhkan karakter dan rasa diri yang baik dan kuat, kemampuan Fidel untuk berkreasi dan menumbuhkan kreativitas sepanjang hayat, dan terakhir kemampuan Fidel untuk memberi dan menerima kasih sayang dari lingkungan disekitarnya. Kami mempelajari, bahwa hal-hal ini tidak bisa dikarbit, tidak bisa diakselerasi dengan kursus dan bimbel manapun, dan yang paling penting, biasanya didapatkan sepenuhnya dari keluarga.

Concerns terakhir, sosialisasi. Pada awalnya, ini pun menjadi kekhawatiran kami yang serius, bahwa dia akan tidak punya teman, dia akan jadi anak yang aneh, dimana pada kenyataannya, Fidel membaur dengan lebih baik justru disaat dia sudah homeschool. Karena jarang didudukkan selama berjam-jam dalam suatu ruangan kelas dengan anak-anak usia sebaya, Fidel terpaksa belajar teknik berbicara dan menghadapi orang-orang berbagai usia, dan ini justru menjadi nilai tambahnya dalam proses sosialisasi.

Semoga sharing ini membantu :)

Rabu, 06 Juli 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag VII

Selesai turun dari Mt Olives, tujuan berikutnya menuju kaki bukit, adalah Gethsemane atau yang disebut juga Taman Getsemani, tempat dimana Yesus berdoa dan menangis bersimbah peluh berupa darah.

Kemungkinan demi kepentingan turisme, pohon-pohon zaitun tua yang ada ditaman tersebut dipertahankan. Oleh karena itu, pagar permanen menutupi sekeliling taman tersebut.

Background view: Taman Getsemani


Persis disebelah lokasi taman, megah berdiri Basilica of Agony atau disebut juga Church of All Nations atau Gereja Segala Bangsa.

Background: Entrance of Basilica of Agony


Alasan kenapa dinamakan begitu adalah karena gereja tersebut dibangun dengan donasi dari berbagai negara, antara lain Argentina, Brazil, Chile, Meksiko, Italia, Perancis, Spanyol, Inggris, Belgia, Kanada, Jerman Australia, Irlandia, Hungaria, Polandia, and of course, United States of America.

Left to Center Aisle


Tampak pada gambar langit-langit gereja pada gambar dibawah ini, informasi pembagian donasi tiap-tiap negara diukir disana, dengan cara menempelkan gambar bendera negara masing-masing di langit-langit, seperti tampak pada gambar (zoom, please ^_^) dimana sepertinya donasi dari Perancis bersebelahan dengan (tebakan saya) Chile.

Ceiling View of Basilica of Agony or also known as Church of All Nations
Berseberangan dengan bangunan ini, kami disuguhi pemandangan spektakuler, yaitu sebagian dari kompleks Al Aqsa dan Dome of the rock.

Seberang dari Basilica of Agony: Al Aqsa and Dome of the Rock site


Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Suasana di sekitar dan di dalam kompleks Getsemani dan Basilica of Agony bisa saja sangat penuh orang lalu lalang dari berbagai macam bangsa dan negara, dan didalam bangunan juga dipasang tanda 'silence' dari mulai depan entrance. Biarkan anak-anak duduk didalam stroller agar tetap aman dalam pengawasan. 

Sekedar share, kami memilih turun dari Mt Olives menuju Getsemani dengan tour bus sehingga terpisah dari rombongan dan harus menunggu dipintu masuk karena sampai lebih dulu. Karena menunggu terlalu lama, sambil melihat-lihat souvenir dipinggir jalan, Fidel kami biarkan turun dari stroller dan digandeng saja, dan hampir saja digendong pergi oleh orang tidak dikenal, yang kemudian saat ditegur mengaku hanya bercanda saja.  :(

Details: Saat sedang digandeng sambil melihat-lihat souvenirs dipinggir jalan yang sedang agak sepi, tiba-tiba saja seorang laki-laki asing berbadan besar menggendong paksa Fidel hingga terlepas dari gandengan kami, sambil tersenyum dan seakan-akan hendak membawa dia pergi, dimana selama sedetik itu saya percaya dia hendak membawa kabur Fidel, dan sudah siap berteriak, dia menurunkan Fidel dan berkata 'just kidding, you thought I was gonna take him away, didn't you?', and I was like: 'HELL, YEAH! (GET LOST!) 


(to be continued..)

Senin, 16 Mei 2011

One Size Fits All Concept VS Future Education

Semenjak kami mulai bersedia share pilihan kami kepada lingkungan sekitar kami, mengenai pilihan menjalani homeschool bersama Fidel, kami mulai banyak menerima pertanyaan sehubungan hal tersebut.

Pertanyaan klasik seputar masalah sosialisasi, atau perkembangan bersifat akademik. Ketakutan akan kurangnya interaksi sosial yang mungkin terjadi pada Fidel, atau yang nyata-nyata diragukan adalah apakah Fidel akan memahami hal-hal yang harus dipahami pada tingkatan usianya.

Dalam banyak interaksi, kami berusaha untuk tidak agresif atau menghindari tindakan ofensif ataupun defensif. Kami cukup mengatakan hal-hal simpel dan singkat, bahwa saat ini dia bergabung dengan komunitas homeschool yang ada di Jakarta dan bahagia dengan lingkungan sosialnya. Kami juga menyatakan rencana kami menerapkan kurikulum cambridge dan diknas sehingga nantinya Fidel akan memiliki ijazah dari kedua lembaga/institusi tersebut.

Tapi, bersama tulisan ini, ijinkan kami untuk share what is a head of it (or maybe a few heads of it ^_^)

Pertama, dengarlah cuplikan video komunikasi antara Bill Gates dan Salman Khan di link ini http://www.khanacademy.org/

Setelah menonton video yang tersedia di link tersebut, saya terpaksa berkata, it is a pity of you if what you have got is only a traditional classroom experiences. ^_^ no offense please

Sebagai orangtua 'muda' kita sering mendengar atau membahas, betapa jaman yang kita alami jauh berbeda dengan orangtua kita yang gagap teknologi. Opa oma nya Fidel tidak akrab dan familiar dengan program komputer. Pada jaman mereka yang dipakai sebagai alat prosesor kata adalah mesin tik. Kita produk era digital merasa aneh dengan cara komunikasi yang porsi besarnya menggunakan surat atau postcard. :P

Marilah kita renungkan, apa yang terjadi didalam kelas tradisional. Kegiatan belajar anak-anak sebagian besar masih menggunakan buku tulis, menggunakan kertas, menggunakan standar pendidikan yang dikonsep dan dibakukan kira-kira 5-10 tahun yang lalu.

Dan, yang juga terjadi adalah, standar tersebut cenderung mengabaikan kondisi kemampuan tiap-tiap anak.

Seorang Ibu dari katakanlah dua anak, mampu berkomentar kira-kira begini, "wah kalau si adek sih lebih lancar bicara dari kakaknya. Kelihatannya minat kakaknya lebih ke hitung-hitungan, tapi kalau mengarang indah mah si adek jagonya" #dang!

Ibu itu mengatakan hal tersebut, sembari mengharapkan kedua anaknya mendapatkan nilai sempurna untuk kedua mata pelajaran bahasa indonesia maupun matematika, walaupun secara sadar dia melabeli anaknya dengan kemampuan menonjol yang masing-masing berbeda.

Ibu guru di kelas tradisional mungkin saja terpaksa menerapkan satu formula ajar terhadap, katakanlah, 10-20 anak di kelasnya. Tanya mengapa? Kemungkinan sebagai berikut: Pertama, kurikulumnya begitu. Kedua, tuntutannya seperti itu untuk menyesuaikan dengan ujian. One size fits all. Tidak ada tempat untuk si kakak yang mungkin saja tertarik mengeksplorasi lebih banyak mengenai logika matematika, atau sebaliknya, tidak ada waktu untuk si adek yang mungkin saja ingin membuat karya tulis lebih terperinci.

Kami memimpikan model ajar yang lebih manusiawi, bahwa tumbuh kembang setiap anak berbeda, diatas kenyataan bahwa konten pendidikan berkembang jauh melebihi kurikulum yang disusun lima sampai sepuluh tahun yang lalu.

Why Salman Khan? Why Khan Academy?

Teknologi memberi kami kesempatan untuk tahu lebih banyak mengapa Bill Gates menyebut Khan Academy sebagai revolusi. Indeed it, too, revolutionized our set of mind as a person, as a parent and also as a student.

Salman Khan melalui Khan Academy telah merintis jalan menuju proses belajar mengajar yang lebih manusiawi, melibatkan feedback dengan tujuan menyempurnakan atau meng-update konten/materi pengajaran, dan yang mengejutkan, hal tersebut dilakukan dengan fokus pada anak/manusia sebagai subyek dengan peran yang tidak monoton, menyesuaikan dengan kapasitas dan kompetensinya.

Khan Academy menyediakan secara gratis berbagai macam video tutorial meliputi matematika, fisika, sejarah, dengan jumlah yang terus menerus dikembangkan, dengan dilengkapi fitur komentar. Komentar bisa berupa pujian ataupun koreksi/sanggahan terhadap materi, memungkinkan Khan Academy untuk mengeditnya. Selain fasilitas menonton video, website tersebut juga menyediakan fasilitas berlatih, melatih dan kontribusi yang belum kami eksplor lebih lanjut.

Langkah nyata yang kami ambil sehubungan dengan ini adalah melibatkan diri terhadap proses belajar bahasa inggris Fidel, to our hope that he can catch up the speed of Khan's english. ^_^

Akhir kata, mengutip kalimat yang diucapkan Bill Gates saat memperkenalkan Khan Academy di acara TED.com, "Well, amazing, I think you just got a glimpse of a future education"


Senin, 04 April 2011

Lawan vs Maafkan

Bullying bisa terjadi dimana saja, dan sedihnya kadang terjadi di dalam rumah sendiri. Akan tetapi, memilih homeschool sebagai alasan untuk menghindari bullying pada anak di sekolah, tidaklah tepat, kalau tidak disertai pendampingan orangtua secara nyata.

Memang benar, teman-teman di sekolah bisa mem-bully anak kita. Asisten rumah tangga yang bertugas mengasuh anak saat Ibu bekerja juga bisa mem-bully anak kita. Tetapi, kita sebagai orangtua pun dapat mem-bully anak atau paling tidak, sebagai orangtua, kita bisa menerapkan pola asuh yang salah dan melestarikan kegiatan bullying tersebut.

Di tahun 2008, saya sempat membaca sebuah buku bagus berjudul: "Stop bullying! Memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU" karangan Barbara Coloroso, seorang penulis bebeberapa buku mengenai parenting. Saat itu, anak saya baru berumur 2 tahun, dan saat membacanya, saya merasa, apa mungkin hal itu terjadi pada anak-anak? Dan lebih lanjut lagi pertanyaan saya, apa mungkin hal itu dilakukan oleh anak-anak juga?

Anak kami, Fidel, sebentar lagi berumur 5 tahun. Saat ini, dia tumbuh bahagia karena homeschool dan orangtuanya memilih untuk bekerja dari rumah. Kami mendampinginya dalam berbagai aktivitas, berusaha membuatnya bisa menerima diri sendiri apa adanya.

Kami berusaha memberi Fidel pengertian bahwa cinta dari orangtuanya tanpa syarat, tanpa kondisi apapun. Dan, yang perlu ia lakukan untuk membalasnya adalah dengan menerima dirinya sendiri apa adanya dan hidup berbahagia dan bertanggung jawab dengan pilihan hidupnya.

Susah menerapkannya. Karena, sebagai orangtua, kami tidak lepas dari kekurangan, tanpa sadar kami masih mendorong Fidel untuk menjadi yang paling baik, bukannya yang paling bahagia. Tapi, setiap salah melangkah, kami merasa selalu diingatkan oleh Fidel sendiri, untuk selalu berbahagia. "Bunda, gak papalah, kan orang beda-beda. Ada yang suka mewarnai ada yang suka main game. Orang itu jangan dipaksa"

Cinta dari Fidel yang tanpa syarat pada orangtuanya, membuat orangtuanya mampu berusaha dan bangkit lagi untuk selalu belajar menerima Fidel apa adanya.

Lain keluarga lain pengalaman dan juga lain kondisi. Dalam beberapa situasi, Fidel tentu juga berinteraksi dengan anak-anak yang mendapat tuntutan "keras" dari orangtua mereka. Entah tuntutan tersebut berupa dorongan keras untuk selalu berprestasi sesuai keinginan orangtuanya, sehingga anak harus menjalankan aktivitas sesuai kemauan orangtuanya. Atau, berupa keharusan untuk menerima Ayah  yang sibuk aktivitas ngafe atau karaoke atau sekedar kumpul-kumpul dengan geng mobil atau geng motor nya sepulang kantor, dan juga keharusan bersabar untuk mendapat waktu bermain dengan Ibu hanya di akhir pekan karena sepanjang waktu sang Ibu sibuk bekerja dan pulangnya harus menghadiri berbagai acara temu kangen atau kumpul-kumpul sosial yang berlangsung tanpa melibatkan sang anak.

 Berbagai situasi yang keras kadang membuat anak akhirnya keras juga menghadapi teman sebaya. Muncul karakter si A yang suka memukul, si B yang senangnya asyik sendiri tidak mau berbagi, atau si C yang kerap tantrum.

Tak jarang, dalam berbagai kesempatan bersosialisasi, khususnya dengan teman sebaya, misal ditempat kursus, di playground atau hanya di depan rumah, hal tersebut terjadi. "Aku tadi diinjek kakinya, trus aku injek lagi kakinya tapi aku trus didorong" "Tadi anak itu ga mau gantian mainan, trus aku ditabok" "Males ah main sama si B soalnya ga enak, suka marah" "Si C orangnya gitu, susah dibilangin, ga bisa duduk manis"

Advice yang kami dapat dari buku Barbara C, adalah, jangan pernah menyarankan untuk balas melakukan tindakan yang sama. Jangan pernah menyarankan untuk balik menabok, balik merebut atau balik mendorong. Kalau kita menyarankan hal tersebut, ya, berarti kita telah menyarankan untuk melakukan penindasan atau bullying. Because very unlikely, the child that had been bully will revenge back, but in most cases they will revenge forward. Mereka akan mencari target lain yang lebih lemah dari mereka dan meneruskan perilaku bullying tersebut.

Kenyataan inilah yang memberi alasan, mengapa ada anak berbadan besar yang mungkin lebih memilih untuk menindas teman sebaya yang berbadan lebih kecil dan kemudian, anak yang berbadan lebih kecil kemudian "terpaksa" memilih untuk menindas adiknya sendiri dirumah, yang besar kemungkinan memiliki postur dan kekuatan lebih kecil darinya.

Dari sekian langkah yang disarankan, dan kemudian kami jalankan bersama-sama dengan Fidel adalah, Pertama, kami belajar menerima perbedaan walaupun bukan berarti kami menyetujuinya. Kami selalu mengajarkan Fidel bahwa sesuatu yang berbeda tidak harus jatuh dalam olok-olok, walaupun perbedaan tersebut arahnya negatif atau merupakan suatu kelemahan. 

Kedua, kelemahan bukan sesuatu yang harus diubah seketika, tetapi disadari sebagai proses terus menerus dan berbentuk jenjang. Olok-olok dan tindakan negatif yang mengarah kepada kekerasan tidak ditolerir, dinyatakan dengan keras, tetapi setiap kesalahan mendapat maaf. Menanggapi peristiwa kekerasan atau penindasan yang dialami Fidel, kami selalu membahasnya, menanyakan perasaannya, belajar bersama mendefinisi  dan melabel perasaan yang dialaminya apakah takut atau marah atau sedih atau kesal. Kemudian, menyatakan bahwa perasaan tersebut boleh-boleh saja dirasakan dan diucapkan kepada si penindas. Misal: besok-besok kalau didorong lagi, Fidel langsung bilang yang keras ya, "aku marah kalau didorong, jangan dorong aku lagi" atau besok-besok kalau dia ga mau gantian main, Fidel langsung bilang yang keras ya, "aku kesel kalau kamu ga mau gantian pake mainan" lalu tinggalin aja dia. Langkah selanjutnya, maaf adalah sesuatu yang diberikan bukan untuk kepentingan penindas, tetapi pemberian maaf adalah obat untuk luka hati yang ditindas.

Ketiga, sisi emosional adalah satu dari elemen jiwa, yang tidak bisa dikarbit dengan makanan 4 sehat 5 sempurna sehingga anak umur 3 tahun secara fisik bisa terlihat sama besarnya dengan anak umur 5 tahun. Sisi emosi bertumbuh perlahan sesuai dengan pengalaman hidup, sehingga pertumbuhannya kami perhatikan dan kami fasilitasi. Salah satu caranya adalah dengan melakukan diskusi dua arah. Kebutuhan akan hal inilah yang membuat kami memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Diskusi dua arah yang berkualitas jarang bisa dibangun diatas momen yang kurang secara kuantitatif. Di usia Fidel yang masih sedemikian muda, dimana rentang konsentrasinya belum panjang, agak susah untuk merecall memori atas kegiatan sehari-hari anak untuk keperluan refleksi, hanya di malam hari saja, saat orangtua sudah terbebas dari pekerjaan kantor, lepas dari macet menuju rumah dan juga dari rasa penat.
Banyak dalam kegiatan sehari-harinya yang perlu segera didiskusikan. Misal, menonton televisi program gratis yang diseling oleh iklan, suatu kegiatan yang kami perkenalkan secara terbatas. Acara kartun yang disukai Fidel selalu bertaburan iklan permen, cokelat, snack. Iklan yang dibuat dengan skenario, sehabis makan permen atau cokelat atau snack, maka si anak akan tampil lebih hebat misalnya bisa terbang. Sungguh wajar, tanpa diskusi dari hati kehati, anak akan menelan iklannya bulat-bulat, mengakibatkan proses pembentukan karakter terkontaminasi sehingga bisa saja anak tumbuh tanpa memercayai sesuatu yang datang dari hati nuraninya. Kenapa? saat diskusi dengan Fidel, dia dengan segera memercayai pengertian yg saya sampaikan bahwa iklan adalah sesuatu yang melebih-lebihkan, karena di dalam hati kecilnya, ia juga merasakan kejanggalan itu. Bayangkan, anak yang menonton iklan didampingi oleh, katakanlah asisten rumah tangga yang tidak mampu mencapai dalamnya tingkat kebutuhan diskusi anak sampai ke level tersebut, tentu ia akan menyerah dan diusia dini sudah mulai mengabaikan hati kecilnya sendiri karena serbuan iklan yang membabi buta tersebut.

Tiga langkah yang kami lakukan diatas adalah bagian dari proses homeschool Fidel, dan kami jalankan sesuai kondisi dan situasi keluarga kami pribadi, yang kami share disini dengan niat baik. Hope it helps.


Selasa, 08 Maret 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag VI

Hari pertama visit Holy Land, kami langsung mengunjungi Jericho, Dead Sea dan Wailing wall. Malam, sehabis dinner, kami check-in.

Hotel pertama kami, Jerusalem Gate Hotel, ditinggali selama dua malam.
Jerusalem Gate Hotel

Kesan pertama mengenai hotel tersebut tidak impressive buat saya, it's rather old.

Tripadvisor menempatkan rating kategori very good dan kategori poor dengan jumlah voters sama banyaknya. Banyak yang memuji kelebihannya yaitu a very good location, near autobus station, dan juga good food. But, to my experiences, the last thing we need, is a good location that near to public transportation. Why? Because we travel by a tight itinerary and a tour bus, dan mengenai tempat,  hotel hotel di asia jauh lebih mewah lebih modern, dan juga with the best food. Tentu saja, penilaian yang terakhir amat sangat subjektif, mengingat lidah saya tidak biasa makan salad dingin yang terdiri dari cheese cream dengan aneka kekentalan yang biasanya dimakan dengan ikan fillet beku :P

Untuk anak kecil, masalah sarapan bisa teratasi dengan telur. Tapi, jangan berharap bisa menikmati sosis sekaligus telur dan susu, disaat sarapan. Hotel-hotel sepertinya mengikuti dengan baik aturan makanan yang kosher menurut Yahudi. Hidangan yang kosher atau halal, salah satunya adalah tidak sekaligus mengkonsumsi daging dan susu. Dua jenis itu tidak boleh dikonsumsi berbarengan. Sehabis menikmati sarapan super hambar dan super asing dilidah, kami hop-on to the bus memulai perjalanan.

Matahari bersinar terik, tetapi udara masih sejuk dengan angin semilir. Itinerary pagi itu naik ke puncak bukit zaitun, menyaksikan yerusalem dari atas. Kami tidak turun dari bus, melainkan lanjut memasuki Chapel of ascension.

Entry to the Chapel of Ascention

 Di atas bukit inilah, dipercaya bahwa Yesus secara utuh/fisik naik ke surga. Sejarah panjang menyertai tempat suci ini. Dibangun, diserang, dan dibongkar beberapa kali. Tempat ini bahkan pernah digunakan sebagai masjid selama 300 tahun, sebelum akhirnya dibangun dinding berbentuk hexagonal yang mengelilingi chapel tersebut.

Kemi mengantri di depan pintu, menunggu giliran. Masuk kedalam, seperti mundur beberapa abad lamanya, berbagai macam perasaan campur aduk, utamanya haru.

Footsteps of Jesus | Chapel of Ascension

Berdoa ditempat itu tidak bisa berlama-lama, diluar antrian dari tourist group lainnya sudah menunggu, bergantian kami sujud lalu beriringan keluar.

Meninggalkan Chapel of Ascencion, kami berjalan kaki menuju Pater Noster Church atau Gereja Bapa Kami.

Gereja Bapa Kami adalah tempat dimana Yesus pertama kalinya mengajarkan doa Bapa Kami kepada murid-muridnya.

Background: Pater Noster Church | Gereja Bapa Kami
Di kompleks ini dikelilingi dinding bertuliskan doa Bapa Kami berbagai versi, diantaranya kami menemukan versi Indonesia, Jawa, Toraja dan Palembang, juga versi Hebrew.

Doa Bapa Kami versi Indonesia

Doa Bapa Kami versi Toraja dan Palembang
Doa Bapa Kami versi Hebrew

Sebelumnya kami memasuki gua dengan posisi menurun, menuju tempat yang diyakini sebagai the actual place dimana Yesus berkumpul dengan murid-muridnya dan mengajarkan doa Bapa Kami.

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Saat turun dari bus untuk melihat Chapel of Ascension dan Pater Noster Church yang terletak di puncak bukit Zaitun, tidak perlu membawa stroller.
Tetapi, apabila kunjungan berikutnya langsung menuruni bukit, ada dua pilihan.

Pertama, ikut dengan bus yang akan turun tanpa penumpang sampai ke Getsemani, atau kedua, membawa stroller dan menuruni bukit zaitun sampai ke Getsemani.

Pilihan pertama, jauh lebih nyaman untuk anak, tetapi konsekuensinya kehilangan pemandangan kota dari atas bukit yang magnificent.

Pilihan kedua, mendapat pemandangan indah, tetapi medannya cukup sulit untuk dilalui stroller.

Jalan menurun dari Bukit Zaitun menuju Getsemani

The view from the top of Mt of olives


(to be continued..)



Minggu, 06 Maret 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag V

Lepas sore kami meninggalkan Dead Sea dan menuju Old City of Jerusalem.

Itinerary kami berubah menyesuaikan dengan kondisi internal Israel, sehingga, sore itu kami masuk ke area kota tua, menuju wailing wall atau kita disini menyebutnya tembok ratapan.

Awalnya saya berharap bisa melihat tembok ratapan disaat matahari terang benderang, tapi, hari sudah mulai gelap saat bus memasuki area yerusalem yang berbukit-bukit. Suasananya tak terkatakan, mulai dari rumah-rumah dari batu-batu besar sewarna pasir, berbentuk persegi panjang tanpa atap segitiga, kemudian kami menyaksikan makam-makam batu terhampar di kaki bukit.

Antrian bis mengular mendekati entry gate area dome of the rock dan al aqsa, dugaan saya, kami masuk melalui Dung gate, karena gate tersebut adalah yang paling dekat jaraknya diantara gate lainnya.

Dung Gate Area

Fidel sudah tertidur saat kami memasuki old city, dan karena area parkir bis cukup jauh, kami memutuskan untuk membawanya di stroller. Udara malam hari di Jerusalem sekitar bulan oktober, dinginnya kurang lebih seperti puncak di waktu malam.

Kami tidak melalui main entry Dung gate, melainkan pintu kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Tepat disana, kami menyaksikan dari kejauhan, dan juga dari kegelapan, al aqsa yang berdekatan dengan islamic museum

View of Al Aqsa and Islamic Museum from Dung Gate


Selepas Dung gate dan sampai dipintu masuk area, entah mengapa pria dan wanita dibedakan jalur masuknya.

Pintu masuk menuju wailing wall

Fidel ikut masuk pintu laki-laki bersama ayahnya, dan kami ketemu lagi sudah didalam area wailing wall atau tembok ratapan.

Area tembok ratapan masih ramai, dipenuhi turis-turis lalulalang dan juga orang-orang yahudi yang memakai topi tinggi berwarna hitam yang khas, tampaknya mereka datang karena ingin berdoa.

Wailing Wall | Western Wall | Tembok Ratapan

Kunjungan ke daerah ini hanyalah sightseeing. Umat Katolik tidak datang ke area ini untuk berdoa, tetapi, saya niat untuk mendekati dinding tersebut dan menaruh beberapa gulung kertas doa titipan teman saya yang muslim. Bahkan teman saya ada yang meminta saya memotret area dekat al-aqsa karena penasaran.

Kunjungan saya ke wikipedia memberi saya info mengenai konflik yang menyertai daerah ini, antara yahudi dan moslem.

Yahudi memercayai bahwa potongan dinding yang diambil dari Bait Suci yang dibangun oleh Salomo ini tidak hancur pada serangan tentara Romawi, adalah karena Allah atau Sekhinah berdiam disitu. Itulah sebabnya orang Yahudi menangis ditembok tersebut menyesali dosa-dosa mereka, sambil berdoa dan kadang menaruh kertas berisi ujud atau permohonan pribadi mereka disela-sela tembok tersebut.

Sementara moslem memercayai bahwa dinding yang sama merupakan bagian dasar dari masjid al aqsa dan omar, dan diyakini sebagai gerbang tempat berangkatnya nabi mereka,  Muhammad SAW menuju surga dengan mengendarai mahluk cahaya dinamai atau disebut buraq.

Malam itu, saya maju ke area doa khusus perempuan. Ditengah-tengah ada sekat yang memisahkan area doa laki-laki dan perempuan.

Berjalan pelan-pelan mengagumi tembok besar dan megah tersebut, saya menyadari di sebelah kanan saya ada lemari berisi buku-buku doa orang yahudi, dimana mereka bisa meminjamnya. Lalu tersedia sederet kursi untuk duduk berdoa. Walaupun kebanyakan dari para yahudi tersebut memilih berdiri dekat tembok, meratap disitu.






Wailing wall yang tadinya sepanjang 485m, kini yang tertinggal hanya 60m. Orang-orang yang memenuhi bagian depan membuat saya sulit menerobos untuk menyelipkan kertas doa. Ternyata sampai didepanpun, saat itu kertas doa sudah begitu banyak bertebaran di lantai karena sudah tidak ada tempat lagi untuk menyelipkan kertas. Setelah selesai, tanpa berdoa saya berjalan mundur kira-kira 30-40 langkah, mengikuti orang-orang lain yang melakukan hal sama. Sepertinya kita tidak diperkenankan untuk memungungi tembok ratapan tersebut.




Kami banyak berfoto mengabadikan moment langka tersebut :)

Dan juga tak luput mengamati bahwa berseberangan dengan wailing wall, ternyata perumahan blok orang-orang yahudi atau jewish quarter. Kami tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi daerah tersebut, hanya tahu bahwa the old city dibagi menjadi empat quarter, diantaranya adalah jewish quarter. Walaupun kami berkesempatan untuk mengeksplorasi moslem quarter, spesifiknya di lions' gate

Background: The Landscape of Jewish Quarter

Selesai dari wailing wall, beriringan kami menuju bus, dibawa untuk makan malam di restoran ala asia lalu pergi lagi untuk check-in hotel. Malam tersebut masih di area Jerusalem.

Cita rasa makanan ala asia di israel? Will update you in the next post ^^

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Tembok ratapan adalah lokasi pertama yang kami hadapi dimana parkir untuk bus tidak dekat dengan lokasi. Jadi, pastikan pada tour guide anda mengenai area-area mana yang akan menyulitkan anak-anak atau manula yang karena suatu alasan terpaksa menunggu di dalam bus.

Again, bawalah stroller dan perlengkapan anak seperti jaket, baju ganti, minuman, kantong muntah, kemanapun, bahkan pada tujuan-tujuan yang sudah dipastikan cuma turun 'sebentar' dari bus.

(to be continued..)

Senin, 14 Februari 2011

Ijazah untuk para homeschooler

Banyak yang meragukan kegiatan homeshool, dengan concern utama pada ijazah.

Kalau sudah muncul kata-kata homeschooling, ada beberapa concern yang langsung diutarakan. Pertama, bagaimana sosialisasinya, kedua bagaimana ijazahnya, dan ketiga, bagaimana kualitas belajarnya.

Jujur, hal tersebut juga sempat muncul dalam benak saya, waktu pertama kali mendalami kegiatan homeschool, dan membuat saya ngeri setengah mati.

Proses homeschool Fidel juga bukan tanpa hambatan, tanpa keraguan.

Perhatian orang terhadap kemungkinan kurangnya kemampuan sosialisasi anak homeschooler dengan sendirinya memudar dan tidak membuat saya merasa ragu lagi, setelah saya tersadar bahwa anak-anak sekolah formal justru yang sering mengalami kesulitan untuk sosialisasi. Kenapa? Karena hampir sepanjang proses belajar mereka di sekolah, age-range yang mereka temui adalah hanya teman sebaya. Sehingga, apabila mereka tidak aktif di berbagai organisasi, umumnya mereka mengalami kesulitan untuk membaur dengan orang-orang berbeda usia. Padahal, kita tahu sendiri, memasuki dunia pekerjaan, kita diharapkan untuk bisa membaur dengan orang dengan berbagai usia. Kadang, atasan kita orang yang lebih muda dari kita, atau rekan kerja kita terpaut usia hingga puluhan tahun.

Perhatian orang terhadap kualitas pendidikan yang diterima anak homeschool juga tidak membuat saya 'gentar', karena, begitu banyak contoh di dunia nyata, bahwa kualitas pendidikan yang mampu diserap anak lebih sering ditentukan oleh pertama, diri anak sendiri, dan kedua, pola hubungan, utamanya di dalam keluarga. Beberapa contoh nyata, dimana keluarga yang sedang mengalami masalah, berhubungan langsung dengan prestasi belajar anak di sekolah. Atau, anak yang memiliki masalah dengan diri sendiri, dan tidak fokus pada pelajaran, kualitas pendidikan yang mampu diserapnya tidak menunjukkan hubungan dengan kualitas pendidikan yang diberikan oleh sekolah.

Saya berpikir, dengan jaman teknologi yang sedemikian berkembang, maka keterbatasan intelektual orang tua yang berkomitmen terhadap perkembangan anaknya, ditambah satu circle kepedulian komunitas homeschool, membuat konsep homeschooling dapat bersaing, even dengan sekolah internasional sekalipun. Toh, arah yang dituju saat ini adalah guru menjadi fasilitator, dan kegiatan belajar mengajar diarahkan pada peer yang mandiri dengan visi misi yang sama. Anak adalah milik masa depan, sementara orang tua dan guru yang datang dari masa lalu, tidak akan punya kompetensi seratus persen untuk menjadi guru untuk mereka, melainkan facilitator only.

Adalah hal ijazah yang selalu masih membayangi saya, sampai dengan hari minggu, 13 Feb 2011 lalu. Dimana seminar mengenai homeschool, dimana salah satu pembicaranya Ibu Yayah Komariah.

Beliau membagi info mengenai kegiatan komunitas Berkemas yang membantu homeschooler mendapat ijazah dari sekolah payung, dan atau ijazah paket dan atau ijazah Cambridge. Para homeschooler yang memakai ijazah paket ada yang masuk perguruan tinggi negeri seperti UI, tetapi juga banyak yang memanfaatkan ijazah Cambridge nya untuk mengambil university degree ke luar negeri.

Dari hasil sharing Bu Yayah, saya mendapat informasi mengenai keabsahan homeschooling sebagai pendidikan nonformal yang mendapat tempat di Diknas, juga di Cambridge. Bahkan adalah biasa, homeschooler mendapat ijazah dari Diknas dan juga dari Cambridge.

Buat saya pribadi, info ini menegaskan bahwa homeschool atau tidak adalah masalah pilihan. Bukan berarti dengan homeschool berarti pilihan paling baik. Sekolah formal atau homeschool dipilih berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing keluarga, tidak banyak terkait dengan masalah ekonomi keluarga, tetapi banyak terkait dengan masalah komitmen dan visi keluarga. :)


Kamis, 13 Januari 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag IV


Sore hari, perjalanan kami arahnya menurun mendekati tepian laut yang dilatari deretan gunung-gunung, terus menuju Laut Mati atau Dead Sea.

Dead Sea atau Laut Mati membentang melalui Jordan dan Israel, walaupun dinamakan laut sebenarnya tempat itu lebih menyerupai danau luas berair asin. Merupakan tempat permukaan air laut mencapai titik terendahnya di seantero bumi, karena mencapai 422m dibawah rata-rata permukaan air laut.

Kami masuk Dead Sea melalui sisi utara Jericho, perkiraan saya masih di area milik Palestina. Ada beberapa entry point untuk Dead Sea, tetapi pada umumnya pemandangan yang didapat is about the same. Menuju bibir pantai, jalan menurun sekali, dan telah dibangun undakan-undakan rapi berjejer sehingga kami seperti berada disuatu auditorium alam yang indah sekali, seperti contoh gambar berikut:

Menuju Dead Sea atau Laut Mati
Dead Sea: Entry Point North Part


Sampai di bibir pantai, pemandangan yang lazim dilihat adalah begitu banyak orang yang melapisi kulitnya dengan lumpur sewarna tembaga bahkan cenderung hitam. Saya mendekat untuk merasakan pantai dan airnya. Ternyata pasir pantai serupa tanah lempung yang lengket dan luar biasa licin, dan air laut mati tersebut teksturnya kental dan berminyak seperti minyak goreng berwarna abu-abu hitam.

Hati-hati berjalan menjauhi pantai, karena ternyata banyak lubang-lubang kecil didalam air yang akan membuat kita terpeleset. Once kita terpeleset, akan sulit bagi kita untuk berdiri seperti biasa, karena tempat ini adalah salah satu hypersaline lake yang ada didunia, dengan tingkat keasinan air mencapai 8,6 kali lebih tinggi dari air di lautan, membuat buoyancy "digenapi" disini. Note: buoyancy bisa diperdalam infonya disini http://en.wikipedia.org/wiki/Buoyancy

Eyangnya Fidel terpeleset disini, dan butuh usaha keras untuk membuatnya mampu berdiri lagi pada kedua kakinya.


Sesampai nya di tepi laut, Fidel segera lari menerjang pantai dengan hasil jatuh seketika. Setelah terjatuh, dia meringis menahan sakit sampai sedikit gemetar, membuat kami bingung tentu saja, dan ternyata baru ketahuan dia punya luka lecet di sekitar kaki dan paha, yang segera perih luar biasa saat terkena air asin. Untung saja tidak jauh dari situ tersedia beberapa kran air tawar untuk orang membilas tubuh, karena sekali terkena air laut, kulit akan terasa licin. Segera Fidel mengantri untuk bilas.







Selain melumur diri dengan lapisan lumpur yang konon berkhasiat, banyak juga orang yang mencoba membotolkan lumpur tersebut, mungkin untuk kenang-kenangan dibawa pulang ke tanah air. Saya termasuk yang mencoba membawanya pulang terbungkus plastik.

Selesai membilas, kami menuju jalan menanjak dan setelah berganti pakaian, kami duduk menikmati manusia segala bangsa bertemu di melting pot tersebut, mencoba menyerap dan memahami suatu tempat yang berusia ribuan tahun dan ikut menjadi saksi perjalanan sejarah beberapa agama dunia.

Keluar dari Dead Sea


Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Pada saat packing, siapkan baju renang atau kaos+celana pendek juga handuk untuk orangtua dan anak dalam satu gulungan, ditaruh dalam kantong plastik. Siapkan topi renang kalau para Ibu tidak mau rambut basah. Taruh packingan baju ditempat paling atas, incase kejadiannya baru saja mendarat dan belum sempat mampir hotel sudah visit ke Dead Sea.

Hati-hati saat hendak menceburkan diri dan anak kedalam air. Ingatkan bahwa ini bukan pantai yang biasa, kalau perlu anak cukup bermain dipinggir pantai dan hanya terkena air sampai dengan lutut. Walaupun referensi berlaku sebaliknya khusus untuk orangtua. Sayang melewatkan kesempatan langka untuk menikmati danau dengan keunikan seperti ini, cobalah mengapung dekat tiang-tiang dermaga karena jelas memudahkan kita mengapung dengan berpegang pada tiang.

Bawalah plastik atau wadah untuk membawa pulang lumpur dead sea yang katanya begitu berkhasiat sehingga Cleopatra selalu berkenan untuk mandi disitu.

Jangan lupakan perlengkapan anak lainnya, misal minyak telon, minuman kotak dan air mineral.


(to be continued..)

Proses Belajar dengan Internet

Bill Gates pernah menyatakan antusiasme dan juga optimisme nya terhadap internet, yang membuat dunia seperti global village. Bahkan dalam beberapa kegiatan sharing di suatu milis yang saya ikuti, saya mendapati bahwa Bill Gates juga menyatakan keyakinannya bahwa akan datang suatu masa dimana melalui internet, orang akan mampu mengakselerasi proses sharing, dan membuat proses belajar dengan kualitas setara belajar di universitas oxford atau cambridge dapat diterima melalui proses internet.

Khan Academy telah memulainya dengan mendeliver begitu banyak kuliah dari suatu kamar kecil didalam rumahnya, banyak yang merasakan manfaatnya dan menyatakan kualitas pengajaran Khan setara atau equal dengan kuliah yang diberikan para profesor di bangku kuliah. Ada juga SecondLife yang memberi banyak orang kesempatan kedua untuk "hidup" dan begitu banyak orang yang menyatakan mengalami banyak kemajuan dalam hidup dengan koneksi internet. Dan ternyata saya juga telah mengalaminya ^^

Saat sedang mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk membeli komputer khusus buat gamers, mencari di tumpukan informasi di google, ada lebih dari satu situs yang memberi informasi, salahsatunya adalah link ini http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5285238 yang memberi saya info mengenai istilah mobo atau procie, juga informasi detail mengenai cara kerja motherboard, plus minus merk Intel VS AMD, atau DDR2 VS DDR3.

Tentu saja, internet bagai pedang yang perlu juga gagangnya, kecuali kita ingin tangan sendiri terbelah. Have a nice browsing to you too ! :)



 



Senin, 10 Januari 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag III

Sampai di Israel, daerah pertama yang kami kunjungi, Jericho, kota di Palestinian Territories, pertama untuk makan siang, kedua untuk mengunjungi tampilan gunung dimana Yesus mengalami pencobaan dan pohon ara dimana Zakeus memanjat.

Melewati perbatasan Israel menuju Palestina, kami tidak melalui banyak pemeriksaan, cukup melewati daerah perbatasan begitu saja. Informasi yang kami dapat, menyeberang dari Israel menuju Palestina adalah hal biasa dan mudah, tetapi tidak sebaliknya.

Dari perbatasan Israel menuju Jericho kami melewati banyak bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak dari batu-batu sewarna pasir yang ternyata merupakan hunian penduduk setempat. Jericho adalah kota tua yang lokasinya terletak paling rendah di bumi.

Jericho

Selanjutnya di Jericho, kami parkir untuk makan siang waktu setempat, atau jam makan sore jam 18.00 WIB. Pemilik resto meneriakkan "Selamat Datang Indonesia" yang khas pada rombongan kami, walaupun menu makanan buffet restoran tersebut tidak mencerminkan rasa masakan indonesia. Kami melahap nasi yang berminyak mirip2 nasi lemak dan sate domba yang ditusuk dengan potongan besi. Menu lainnya tidak disentuh karena tampilannya kurang mengundang selera. Turned out, sate domba nya enak sekali !, makanan paling enak yang kami temui selama di Timur Tengah.

Sate Domba di Jericho


Sate Domba di Jericho

Selesai makan seperti biasa, Fidel perlu menggunakan kamar mandi. Well, kamar mandinya kalau bisa dirate dari 1 sampai 10, hanya sanggup mengumpulkan angka 5,75 untuk kebersihan. Tapi mungkin perlu dimaklumi, tourist dari berbagai negara mampir disini, dengan membawa kebiasaan yang berbeda-beda.

Turun dari restoran di lantai 2, kami mampir ke toko souvenir di lantai 1, sebelumnya fidel berfoto bersama eyangnya di depan restoran dengan sate domba terenak tersebut, ini foto nya

Jericho Temptation Resto - Sate Dombanya Enak Bgt!


Disini, kami berbelanja tempelan kulkas, kaos, dan beberapa pernah pernik khas. Lalu perjalanan lanjut menuju Gunung Pencobaan, tempat Yesus berpuasa 40 hari lamanya dan dicobai Iblis disana. Gunung tersebut cukup kami lihat dari jauh, bagi yang mau mengalaminya langsung, disediakan cable car untuk naik ke atas, tetapi kami cukup berfoto dengan latar belakangnya saja. Cuaca mulai cukup terik saat kami turun dari bis untuk berfoto.

latar: gunung pencobaan







Gunung tempat Yesus dicobai oleh Iblis

Turun dari bis kami yang berwarna biru terang, kami sampai di tanah mendatar berpasir warna kuning, dengan latar gunung2 batu menjulang. Disitulah Yesus berpuasa 40 hari dan kemudian dicobai oleh Iblis. Selesai berfoto dan memandang merenungkan kejadian duaribu tahun silam, kami naik untuk menuju tujuan masih di daerah Jericho, yaitu pohon Ara tempat Zakeus memanjatnya untuk bertemu Yesus.


Pohon tersebut terletak di daerah yang cukup terlindung, saat kami datang disekelilingnya sedang dibangun pagar batu yang baru. Dan, di lokasi sekitar pohon itulah orang percaya terjadi peristiwa yang mengubah hidup Zakeus.



Dipercaya sebagai pohon dimana Zakeus naik untuk melihat Yesus

Pohon Ara Zakeus
Sebagian dari kami turun untuk berfoto, sekaligus untuk melihat dari dekat tampilan pohon tersebut.

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Bila sampai disuatu restoran yang menyediakan menu nasi, ambillah sebagian untuk bekal, masukkan di kantong plastik atau bila membawa kotak nasi yang bersih taruhlah disitu. Kita tidak tahu kapan lagi bertemu nasi, dan seringkali anak-anak lapar pada saat yang tidak diduga. Protein dari susu kotak UHT yang dibawa dari Jakarta, dan karbohidrat dari nasi paling tidak dapat memberinya energi untuk tetap ceria selama perjalanan. Lebih bagus lagi kalau ada lauk yang bisa dibungkus.

Manfaatkanlah kamar mandi. Selalu ajak anak kita untuk ke kamar mandi apabila menemukan public places seperti restoran. Kebutuhan anak ke kamar mandi bisa kita mulai biasakan, sehingga pada hari ketiga atau keempat anak mulai terbiasa buang air setiap bertemu kamar mandi.


(to be continued..)




Minggu, 09 Januari 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag II

Perjalanan Dubai - Amman makan waktu 3 jam 55 menit. Jakarta GMT+7, Dubai GMT+4, Amman GMT+2, maka sesampai di Amman, kami mundur 5 jam dari waktu Jakarta. Siap-siap jetlag, terutama untuk Fidel, karena saat itu jam 14.20 Waktu Indonesia Barat, tetapi baru jam 9.20 di Amman,Jordan.

Turun dari Airport, kami duduk menunggu sebentar untuk koper-koper yang muncul dari ban berjalan. Queen Alia International Airport berbeda jauh dengan Dubai International Airport, sehingga memunculkan rasa 'terdampar' di gurun, karena pemandangan yang muncul di kaca jendela pesawat saat landing kebanyakan adalah bukit-bukit padang pasir. 

Keluar dari Bandara local tour guide sudah menunggu dengan bis besar, pemandangan yang disuguhkan tepat seperti yang biasa kami lihat di siaran televisi, sungguh khas timur tengah.


Amman-Jordan





Perjalanan menuju Holyland sekarang ditempuh dengan jalan darat. Indonesia tidak menjalin kerjasama dengan Israel, maka kami tidak bisa menggunakan Ben Gurion Airport dekat Tel Aviv, sehingga kami masuk Israel dari Jordan melalui perbatasan darat.

Setelah menunggu entry-check di Jordan Border Crossing selama kira-kira satu jam, dan mengalami semua bagasi kami masuk x-ray, kami menuju perbatasan Israel melalui King Hussein Bridge, atau lebih sering disebut Allenby Bridge oleh orang Israel, menuju West Bank atau Israel Border Crossing. Segera tour guide kami menginformasikan larangan untuk memotret sedikitpun, karena kami yang sedang melintas ini diawasi oleh Israel authorities. Pemandangan utama kami saat melintas adalah sungai Jordan yang telah mengering, beberapa rumah yang hancur lebur seperti terkena ledakan, dan beberapa papan plang bertuliskan military zone, cukup membuat patuh tourist yang bandel ingin memotret.

Sampai di Israel Border Crossing, kami semua harus turun dari bis, barang-barang sekali lagi masuk x-ray, dan kami mengantri satu persatu menuju loket pemeriksaan passport. Tentara-tentara Israel membawa senjata laras panjang mondar-mandir disekeliling kami. Selesai antrian di loket, kami menuju antrian detektor logam dan random check.

Dibagian ini, Fidel harus turun dari strollernya, stroller dilipat masuk x-ray, berjalan sendiri melewati detektor logam, baru orangtuanya boleh lewat. Salah satu peserta tour harus mengalami random check yaitu seluruh belongingsnya dibuka dan dideclare satupersatu. Selesai dari sini, percaya atau tidak, another passport check ! Baru kemudian kami bisa bernafas lega.

Di pintu keluar, another tour guide kami dan bis lainnya telah menunggu. Dia mengucapkan kata-kata, "Selamat datang di Israel!" dengan logat khas.

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Jangan taruh stoller dibagasi bis bagian bawah, bawalah selalu dalam setiap kesempatan. Dan isilah satu tas besar dengan baju ganti dan jaket untuk anak, minyak telon, cemilan, kotak susu, kantong plastik dan baju ganti dewasa, untuk selalu dibawa saat turun dari bis. Karena kita tidak selalu bisa kembali ke bis sewaktu-waktu membutuhkan barang-barang tersebut.

Kami diberitahu bahwa dalam menu makanan akan selalu ada nasi, tetapi untuk selera makan anak, bawalah kecap dalam ukuran kecil untuk dibawa-bawa. Kami juga membawa bumbu ayam kremes untuk berjaga-jaga.


(to be continued..)