Senin, 14 Februari 2011

Ijazah untuk para homeschooler

Banyak yang meragukan kegiatan homeshool, dengan concern utama pada ijazah.

Kalau sudah muncul kata-kata homeschooling, ada beberapa concern yang langsung diutarakan. Pertama, bagaimana sosialisasinya, kedua bagaimana ijazahnya, dan ketiga, bagaimana kualitas belajarnya.

Jujur, hal tersebut juga sempat muncul dalam benak saya, waktu pertama kali mendalami kegiatan homeschool, dan membuat saya ngeri setengah mati.

Proses homeschool Fidel juga bukan tanpa hambatan, tanpa keraguan.

Perhatian orang terhadap kemungkinan kurangnya kemampuan sosialisasi anak homeschooler dengan sendirinya memudar dan tidak membuat saya merasa ragu lagi, setelah saya tersadar bahwa anak-anak sekolah formal justru yang sering mengalami kesulitan untuk sosialisasi. Kenapa? Karena hampir sepanjang proses belajar mereka di sekolah, age-range yang mereka temui adalah hanya teman sebaya. Sehingga, apabila mereka tidak aktif di berbagai organisasi, umumnya mereka mengalami kesulitan untuk membaur dengan orang-orang berbeda usia. Padahal, kita tahu sendiri, memasuki dunia pekerjaan, kita diharapkan untuk bisa membaur dengan orang dengan berbagai usia. Kadang, atasan kita orang yang lebih muda dari kita, atau rekan kerja kita terpaut usia hingga puluhan tahun.

Perhatian orang terhadap kualitas pendidikan yang diterima anak homeschool juga tidak membuat saya 'gentar', karena, begitu banyak contoh di dunia nyata, bahwa kualitas pendidikan yang mampu diserap anak lebih sering ditentukan oleh pertama, diri anak sendiri, dan kedua, pola hubungan, utamanya di dalam keluarga. Beberapa contoh nyata, dimana keluarga yang sedang mengalami masalah, berhubungan langsung dengan prestasi belajar anak di sekolah. Atau, anak yang memiliki masalah dengan diri sendiri, dan tidak fokus pada pelajaran, kualitas pendidikan yang mampu diserapnya tidak menunjukkan hubungan dengan kualitas pendidikan yang diberikan oleh sekolah.

Saya berpikir, dengan jaman teknologi yang sedemikian berkembang, maka keterbatasan intelektual orang tua yang berkomitmen terhadap perkembangan anaknya, ditambah satu circle kepedulian komunitas homeschool, membuat konsep homeschooling dapat bersaing, even dengan sekolah internasional sekalipun. Toh, arah yang dituju saat ini adalah guru menjadi fasilitator, dan kegiatan belajar mengajar diarahkan pada peer yang mandiri dengan visi misi yang sama. Anak adalah milik masa depan, sementara orang tua dan guru yang datang dari masa lalu, tidak akan punya kompetensi seratus persen untuk menjadi guru untuk mereka, melainkan facilitator only.

Adalah hal ijazah yang selalu masih membayangi saya, sampai dengan hari minggu, 13 Feb 2011 lalu. Dimana seminar mengenai homeschool, dimana salah satu pembicaranya Ibu Yayah Komariah.

Beliau membagi info mengenai kegiatan komunitas Berkemas yang membantu homeschooler mendapat ijazah dari sekolah payung, dan atau ijazah paket dan atau ijazah Cambridge. Para homeschooler yang memakai ijazah paket ada yang masuk perguruan tinggi negeri seperti UI, tetapi juga banyak yang memanfaatkan ijazah Cambridge nya untuk mengambil university degree ke luar negeri.

Dari hasil sharing Bu Yayah, saya mendapat informasi mengenai keabsahan homeschooling sebagai pendidikan nonformal yang mendapat tempat di Diknas, juga di Cambridge. Bahkan adalah biasa, homeschooler mendapat ijazah dari Diknas dan juga dari Cambridge.

Buat saya pribadi, info ini menegaskan bahwa homeschool atau tidak adalah masalah pilihan. Bukan berarti dengan homeschool berarti pilihan paling baik. Sekolah formal atau homeschool dipilih berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing keluarga, tidak banyak terkait dengan masalah ekonomi keluarga, tetapi banyak terkait dengan masalah komitmen dan visi keluarga. :)