Senin, 04 April 2011

Lawan vs Maafkan

Bullying bisa terjadi dimana saja, dan sedihnya kadang terjadi di dalam rumah sendiri. Akan tetapi, memilih homeschool sebagai alasan untuk menghindari bullying pada anak di sekolah, tidaklah tepat, kalau tidak disertai pendampingan orangtua secara nyata.

Memang benar, teman-teman di sekolah bisa mem-bully anak kita. Asisten rumah tangga yang bertugas mengasuh anak saat Ibu bekerja juga bisa mem-bully anak kita. Tetapi, kita sebagai orangtua pun dapat mem-bully anak atau paling tidak, sebagai orangtua, kita bisa menerapkan pola asuh yang salah dan melestarikan kegiatan bullying tersebut.

Di tahun 2008, saya sempat membaca sebuah buku bagus berjudul: "Stop bullying! Memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU" karangan Barbara Coloroso, seorang penulis bebeberapa buku mengenai parenting. Saat itu, anak saya baru berumur 2 tahun, dan saat membacanya, saya merasa, apa mungkin hal itu terjadi pada anak-anak? Dan lebih lanjut lagi pertanyaan saya, apa mungkin hal itu dilakukan oleh anak-anak juga?

Anak kami, Fidel, sebentar lagi berumur 5 tahun. Saat ini, dia tumbuh bahagia karena homeschool dan orangtuanya memilih untuk bekerja dari rumah. Kami mendampinginya dalam berbagai aktivitas, berusaha membuatnya bisa menerima diri sendiri apa adanya.

Kami berusaha memberi Fidel pengertian bahwa cinta dari orangtuanya tanpa syarat, tanpa kondisi apapun. Dan, yang perlu ia lakukan untuk membalasnya adalah dengan menerima dirinya sendiri apa adanya dan hidup berbahagia dan bertanggung jawab dengan pilihan hidupnya.

Susah menerapkannya. Karena, sebagai orangtua, kami tidak lepas dari kekurangan, tanpa sadar kami masih mendorong Fidel untuk menjadi yang paling baik, bukannya yang paling bahagia. Tapi, setiap salah melangkah, kami merasa selalu diingatkan oleh Fidel sendiri, untuk selalu berbahagia. "Bunda, gak papalah, kan orang beda-beda. Ada yang suka mewarnai ada yang suka main game. Orang itu jangan dipaksa"

Cinta dari Fidel yang tanpa syarat pada orangtuanya, membuat orangtuanya mampu berusaha dan bangkit lagi untuk selalu belajar menerima Fidel apa adanya.

Lain keluarga lain pengalaman dan juga lain kondisi. Dalam beberapa situasi, Fidel tentu juga berinteraksi dengan anak-anak yang mendapat tuntutan "keras" dari orangtua mereka. Entah tuntutan tersebut berupa dorongan keras untuk selalu berprestasi sesuai keinginan orangtuanya, sehingga anak harus menjalankan aktivitas sesuai kemauan orangtuanya. Atau, berupa keharusan untuk menerima Ayah  yang sibuk aktivitas ngafe atau karaoke atau sekedar kumpul-kumpul dengan geng mobil atau geng motor nya sepulang kantor, dan juga keharusan bersabar untuk mendapat waktu bermain dengan Ibu hanya di akhir pekan karena sepanjang waktu sang Ibu sibuk bekerja dan pulangnya harus menghadiri berbagai acara temu kangen atau kumpul-kumpul sosial yang berlangsung tanpa melibatkan sang anak.

 Berbagai situasi yang keras kadang membuat anak akhirnya keras juga menghadapi teman sebaya. Muncul karakter si A yang suka memukul, si B yang senangnya asyik sendiri tidak mau berbagi, atau si C yang kerap tantrum.

Tak jarang, dalam berbagai kesempatan bersosialisasi, khususnya dengan teman sebaya, misal ditempat kursus, di playground atau hanya di depan rumah, hal tersebut terjadi. "Aku tadi diinjek kakinya, trus aku injek lagi kakinya tapi aku trus didorong" "Tadi anak itu ga mau gantian mainan, trus aku ditabok" "Males ah main sama si B soalnya ga enak, suka marah" "Si C orangnya gitu, susah dibilangin, ga bisa duduk manis"

Advice yang kami dapat dari buku Barbara C, adalah, jangan pernah menyarankan untuk balas melakukan tindakan yang sama. Jangan pernah menyarankan untuk balik menabok, balik merebut atau balik mendorong. Kalau kita menyarankan hal tersebut, ya, berarti kita telah menyarankan untuk melakukan penindasan atau bullying. Because very unlikely, the child that had been bully will revenge back, but in most cases they will revenge forward. Mereka akan mencari target lain yang lebih lemah dari mereka dan meneruskan perilaku bullying tersebut.

Kenyataan inilah yang memberi alasan, mengapa ada anak berbadan besar yang mungkin lebih memilih untuk menindas teman sebaya yang berbadan lebih kecil dan kemudian, anak yang berbadan lebih kecil kemudian "terpaksa" memilih untuk menindas adiknya sendiri dirumah, yang besar kemungkinan memiliki postur dan kekuatan lebih kecil darinya.

Dari sekian langkah yang disarankan, dan kemudian kami jalankan bersama-sama dengan Fidel adalah, Pertama, kami belajar menerima perbedaan walaupun bukan berarti kami menyetujuinya. Kami selalu mengajarkan Fidel bahwa sesuatu yang berbeda tidak harus jatuh dalam olok-olok, walaupun perbedaan tersebut arahnya negatif atau merupakan suatu kelemahan. 

Kedua, kelemahan bukan sesuatu yang harus diubah seketika, tetapi disadari sebagai proses terus menerus dan berbentuk jenjang. Olok-olok dan tindakan negatif yang mengarah kepada kekerasan tidak ditolerir, dinyatakan dengan keras, tetapi setiap kesalahan mendapat maaf. Menanggapi peristiwa kekerasan atau penindasan yang dialami Fidel, kami selalu membahasnya, menanyakan perasaannya, belajar bersama mendefinisi  dan melabel perasaan yang dialaminya apakah takut atau marah atau sedih atau kesal. Kemudian, menyatakan bahwa perasaan tersebut boleh-boleh saja dirasakan dan diucapkan kepada si penindas. Misal: besok-besok kalau didorong lagi, Fidel langsung bilang yang keras ya, "aku marah kalau didorong, jangan dorong aku lagi" atau besok-besok kalau dia ga mau gantian main, Fidel langsung bilang yang keras ya, "aku kesel kalau kamu ga mau gantian pake mainan" lalu tinggalin aja dia. Langkah selanjutnya, maaf adalah sesuatu yang diberikan bukan untuk kepentingan penindas, tetapi pemberian maaf adalah obat untuk luka hati yang ditindas.

Ketiga, sisi emosional adalah satu dari elemen jiwa, yang tidak bisa dikarbit dengan makanan 4 sehat 5 sempurna sehingga anak umur 3 tahun secara fisik bisa terlihat sama besarnya dengan anak umur 5 tahun. Sisi emosi bertumbuh perlahan sesuai dengan pengalaman hidup, sehingga pertumbuhannya kami perhatikan dan kami fasilitasi. Salah satu caranya adalah dengan melakukan diskusi dua arah. Kebutuhan akan hal inilah yang membuat kami memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Diskusi dua arah yang berkualitas jarang bisa dibangun diatas momen yang kurang secara kuantitatif. Di usia Fidel yang masih sedemikian muda, dimana rentang konsentrasinya belum panjang, agak susah untuk merecall memori atas kegiatan sehari-hari anak untuk keperluan refleksi, hanya di malam hari saja, saat orangtua sudah terbebas dari pekerjaan kantor, lepas dari macet menuju rumah dan juga dari rasa penat.
Banyak dalam kegiatan sehari-harinya yang perlu segera didiskusikan. Misal, menonton televisi program gratis yang diseling oleh iklan, suatu kegiatan yang kami perkenalkan secara terbatas. Acara kartun yang disukai Fidel selalu bertaburan iklan permen, cokelat, snack. Iklan yang dibuat dengan skenario, sehabis makan permen atau cokelat atau snack, maka si anak akan tampil lebih hebat misalnya bisa terbang. Sungguh wajar, tanpa diskusi dari hati kehati, anak akan menelan iklannya bulat-bulat, mengakibatkan proses pembentukan karakter terkontaminasi sehingga bisa saja anak tumbuh tanpa memercayai sesuatu yang datang dari hati nuraninya. Kenapa? saat diskusi dengan Fidel, dia dengan segera memercayai pengertian yg saya sampaikan bahwa iklan adalah sesuatu yang melebih-lebihkan, karena di dalam hati kecilnya, ia juga merasakan kejanggalan itu. Bayangkan, anak yang menonton iklan didampingi oleh, katakanlah asisten rumah tangga yang tidak mampu mencapai dalamnya tingkat kebutuhan diskusi anak sampai ke level tersebut, tentu ia akan menyerah dan diusia dini sudah mulai mengabaikan hati kecilnya sendiri karena serbuan iklan yang membabi buta tersebut.

Tiga langkah yang kami lakukan diatas adalah bagian dari proses homeschool Fidel, dan kami jalankan sesuai kondisi dan situasi keluarga kami pribadi, yang kami share disini dengan niat baik. Hope it helps.