Selasa, 08 Maret 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag VI

Hari pertama visit Holy Land, kami langsung mengunjungi Jericho, Dead Sea dan Wailing wall. Malam, sehabis dinner, kami check-in.

Hotel pertama kami, Jerusalem Gate Hotel, ditinggali selama dua malam.
Jerusalem Gate Hotel

Kesan pertama mengenai hotel tersebut tidak impressive buat saya, it's rather old.

Tripadvisor menempatkan rating kategori very good dan kategori poor dengan jumlah voters sama banyaknya. Banyak yang memuji kelebihannya yaitu a very good location, near autobus station, dan juga good food. But, to my experiences, the last thing we need, is a good location that near to public transportation. Why? Because we travel by a tight itinerary and a tour bus, dan mengenai tempat,  hotel hotel di asia jauh lebih mewah lebih modern, dan juga with the best food. Tentu saja, penilaian yang terakhir amat sangat subjektif, mengingat lidah saya tidak biasa makan salad dingin yang terdiri dari cheese cream dengan aneka kekentalan yang biasanya dimakan dengan ikan fillet beku :P

Untuk anak kecil, masalah sarapan bisa teratasi dengan telur. Tapi, jangan berharap bisa menikmati sosis sekaligus telur dan susu, disaat sarapan. Hotel-hotel sepertinya mengikuti dengan baik aturan makanan yang kosher menurut Yahudi. Hidangan yang kosher atau halal, salah satunya adalah tidak sekaligus mengkonsumsi daging dan susu. Dua jenis itu tidak boleh dikonsumsi berbarengan. Sehabis menikmati sarapan super hambar dan super asing dilidah, kami hop-on to the bus memulai perjalanan.

Matahari bersinar terik, tetapi udara masih sejuk dengan angin semilir. Itinerary pagi itu naik ke puncak bukit zaitun, menyaksikan yerusalem dari atas. Kami tidak turun dari bus, melainkan lanjut memasuki Chapel of ascension.

Entry to the Chapel of Ascention

 Di atas bukit inilah, dipercaya bahwa Yesus secara utuh/fisik naik ke surga. Sejarah panjang menyertai tempat suci ini. Dibangun, diserang, dan dibongkar beberapa kali. Tempat ini bahkan pernah digunakan sebagai masjid selama 300 tahun, sebelum akhirnya dibangun dinding berbentuk hexagonal yang mengelilingi chapel tersebut.

Kemi mengantri di depan pintu, menunggu giliran. Masuk kedalam, seperti mundur beberapa abad lamanya, berbagai macam perasaan campur aduk, utamanya haru.

Footsteps of Jesus | Chapel of Ascension

Berdoa ditempat itu tidak bisa berlama-lama, diluar antrian dari tourist group lainnya sudah menunggu, bergantian kami sujud lalu beriringan keluar.

Meninggalkan Chapel of Ascencion, kami berjalan kaki menuju Pater Noster Church atau Gereja Bapa Kami.

Gereja Bapa Kami adalah tempat dimana Yesus pertama kalinya mengajarkan doa Bapa Kami kepada murid-muridnya.

Background: Pater Noster Church | Gereja Bapa Kami
Di kompleks ini dikelilingi dinding bertuliskan doa Bapa Kami berbagai versi, diantaranya kami menemukan versi Indonesia, Jawa, Toraja dan Palembang, juga versi Hebrew.

Doa Bapa Kami versi Indonesia

Doa Bapa Kami versi Toraja dan Palembang
Doa Bapa Kami versi Hebrew

Sebelumnya kami memasuki gua dengan posisi menurun, menuju tempat yang diyakini sebagai the actual place dimana Yesus berkumpul dengan murid-muridnya dan mengajarkan doa Bapa Kami.

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Saat turun dari bus untuk melihat Chapel of Ascension dan Pater Noster Church yang terletak di puncak bukit Zaitun, tidak perlu membawa stroller.
Tetapi, apabila kunjungan berikutnya langsung menuruni bukit, ada dua pilihan.

Pertama, ikut dengan bus yang akan turun tanpa penumpang sampai ke Getsemani, atau kedua, membawa stroller dan menuruni bukit zaitun sampai ke Getsemani.

Pilihan pertama, jauh lebih nyaman untuk anak, tetapi konsekuensinya kehilangan pemandangan kota dari atas bukit yang magnificent.

Pilihan kedua, mendapat pemandangan indah, tetapi medannya cukup sulit untuk dilalui stroller.

Jalan menurun dari Bukit Zaitun menuju Getsemani

The view from the top of Mt of olives


(to be continued..)



Minggu, 06 Maret 2011

Perjalanan ke Holy Land bersama anak Bag V

Lepas sore kami meninggalkan Dead Sea dan menuju Old City of Jerusalem.

Itinerary kami berubah menyesuaikan dengan kondisi internal Israel, sehingga, sore itu kami masuk ke area kota tua, menuju wailing wall atau kita disini menyebutnya tembok ratapan.

Awalnya saya berharap bisa melihat tembok ratapan disaat matahari terang benderang, tapi, hari sudah mulai gelap saat bus memasuki area yerusalem yang berbukit-bukit. Suasananya tak terkatakan, mulai dari rumah-rumah dari batu-batu besar sewarna pasir, berbentuk persegi panjang tanpa atap segitiga, kemudian kami menyaksikan makam-makam batu terhampar di kaki bukit.

Antrian bis mengular mendekati entry gate area dome of the rock dan al aqsa, dugaan saya, kami masuk melalui Dung gate, karena gate tersebut adalah yang paling dekat jaraknya diantara gate lainnya.

Dung Gate Area

Fidel sudah tertidur saat kami memasuki old city, dan karena area parkir bis cukup jauh, kami memutuskan untuk membawanya di stroller. Udara malam hari di Jerusalem sekitar bulan oktober, dinginnya kurang lebih seperti puncak di waktu malam.

Kami tidak melalui main entry Dung gate, melainkan pintu kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Tepat disana, kami menyaksikan dari kejauhan, dan juga dari kegelapan, al aqsa yang berdekatan dengan islamic museum

View of Al Aqsa and Islamic Museum from Dung Gate


Selepas Dung gate dan sampai dipintu masuk area, entah mengapa pria dan wanita dibedakan jalur masuknya.

Pintu masuk menuju wailing wall

Fidel ikut masuk pintu laki-laki bersama ayahnya, dan kami ketemu lagi sudah didalam area wailing wall atau tembok ratapan.

Area tembok ratapan masih ramai, dipenuhi turis-turis lalulalang dan juga orang-orang yahudi yang memakai topi tinggi berwarna hitam yang khas, tampaknya mereka datang karena ingin berdoa.

Wailing Wall | Western Wall | Tembok Ratapan

Kunjungan ke daerah ini hanyalah sightseeing. Umat Katolik tidak datang ke area ini untuk berdoa, tetapi, saya niat untuk mendekati dinding tersebut dan menaruh beberapa gulung kertas doa titipan teman saya yang muslim. Bahkan teman saya ada yang meminta saya memotret area dekat al-aqsa karena penasaran.

Kunjungan saya ke wikipedia memberi saya info mengenai konflik yang menyertai daerah ini, antara yahudi dan moslem.

Yahudi memercayai bahwa potongan dinding yang diambil dari Bait Suci yang dibangun oleh Salomo ini tidak hancur pada serangan tentara Romawi, adalah karena Allah atau Sekhinah berdiam disitu. Itulah sebabnya orang Yahudi menangis ditembok tersebut menyesali dosa-dosa mereka, sambil berdoa dan kadang menaruh kertas berisi ujud atau permohonan pribadi mereka disela-sela tembok tersebut.

Sementara moslem memercayai bahwa dinding yang sama merupakan bagian dasar dari masjid al aqsa dan omar, dan diyakini sebagai gerbang tempat berangkatnya nabi mereka,  Muhammad SAW menuju surga dengan mengendarai mahluk cahaya dinamai atau disebut buraq.

Malam itu, saya maju ke area doa khusus perempuan. Ditengah-tengah ada sekat yang memisahkan area doa laki-laki dan perempuan.

Berjalan pelan-pelan mengagumi tembok besar dan megah tersebut, saya menyadari di sebelah kanan saya ada lemari berisi buku-buku doa orang yahudi, dimana mereka bisa meminjamnya. Lalu tersedia sederet kursi untuk duduk berdoa. Walaupun kebanyakan dari para yahudi tersebut memilih berdiri dekat tembok, meratap disitu.






Wailing wall yang tadinya sepanjang 485m, kini yang tertinggal hanya 60m. Orang-orang yang memenuhi bagian depan membuat saya sulit menerobos untuk menyelipkan kertas doa. Ternyata sampai didepanpun, saat itu kertas doa sudah begitu banyak bertebaran di lantai karena sudah tidak ada tempat lagi untuk menyelipkan kertas. Setelah selesai, tanpa berdoa saya berjalan mundur kira-kira 30-40 langkah, mengikuti orang-orang lain yang melakukan hal sama. Sepertinya kita tidak diperkenankan untuk memungungi tembok ratapan tersebut.




Kami banyak berfoto mengabadikan moment langka tersebut :)

Dan juga tak luput mengamati bahwa berseberangan dengan wailing wall, ternyata perumahan blok orang-orang yahudi atau jewish quarter. Kami tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi daerah tersebut, hanya tahu bahwa the old city dibagi menjadi empat quarter, diantaranya adalah jewish quarter. Walaupun kami berkesempatan untuk mengeksplorasi moslem quarter, spesifiknya di lions' gate

Background: The Landscape of Jewish Quarter

Selesai dari wailing wall, beriringan kami menuju bus, dibawa untuk makan malam di restoran ala asia lalu pergi lagi untuk check-in hotel. Malam tersebut masih di area Jerusalem.

Cita rasa makanan ala asia di israel? Will update you in the next post ^^

Catatan untuk orangtua yang membawa anak khususnya balita:

Tembok ratapan adalah lokasi pertama yang kami hadapi dimana parkir untuk bus tidak dekat dengan lokasi. Jadi, pastikan pada tour guide anda mengenai area-area mana yang akan menyulitkan anak-anak atau manula yang karena suatu alasan terpaksa menunggu di dalam bus.

Again, bawalah stroller dan perlengkapan anak seperti jaket, baju ganti, minuman, kantong muntah, kemanapun, bahkan pada tujuan-tujuan yang sudah dipastikan cuma turun 'sebentar' dari bus.

(to be continued..)